Pembajakan Untuk Pendidikan Itu Boleh

Sharing ya Gan. Suatu sore yang tenang, saya sedang asyik membaca majalah Tegalboto. Kebetulan tema majalah yang saya baca waktu itu adalah tentang Pendidikan. Satu tulisan menarik yang saya baca adalah tulisan Widi Widahyono, senior saya di Tegalboto.

Widi orangnya periang. Humoris. Suka sekali bercanda dan main gitar sore-sore di depan sekretariat. Selain itu, Widi juga dikenal sebagai pakar tata letak dan juga desain. Ia ahli mengoperasikan Adobe Photoshop, juga Corel Draw. Karena itu, Widi sering sekali diundang Lembaga Pers Mahasiswa lain untuk memberi pelatihan tentang tata letak dan desain.

Di tulisannya, Widi dengan cerdas mengatakan bahwa pembajakan untuk pendidikan itu boleh. Lha kok? Ini seluruh dunia sedang ribut menggiatkan kampanye anti pembajakan, kok Widi malah menyuruh membajak untuk pendidikan.

Tapi dasar orang cerdas yang optimal menggunakan otak kanan, Widi punya argumen yang sama sekali di luar bayangan. Ia lantas menyebutkan program-program Microsoft dan peranti lunak yang sering ia pakai. Mulai dari Microsoft Office, Adobe Photoshop, hingga Corel Draw. Harga perangkat lunak aslinya sangatlah mahal.

Saya beri contoh harga perangkat lunak dasar: Microsoft Windows. Di salah satu situs penjualan perangkat lunak asli, harga untuk Windows 7 Home Basic Edition dibandrol sebesar 1 juta 30 ribu rupiah. Sepengetahuan saya, satu perangkat lunak hanya boleh dan legal dipakai di satu komputer saja. Itu artinya, jika satu rumah punya tiga komputer, maka sang empunya rumah harus mengeluarkan 3 juta rupiah lebih untuk membeli perangkat lunak Microsoft Windows.

Begitu pula untuk Microsoft Office. Harga perangkat lunak Office Home and Student 2013 yang asli mencapai 999 ribu rupiah. Untuk kantoran, lain lagi harganya. Harus memakai Office Home and Business yang harganya mencapai 2,5 juta. Sekarang bayangkan kalau seorang wirausahawan kecil yang ingin membuka warnet dengan 10 komputer. Ia harus menyediakan paling tidak 25 juta rupiah untuk membeli perangkat lunak.

Lalu bagaimana dengan perangkat lunak yang penggunaannya lebih eksklusif, seperti Adobe Photoshop? Harganya lebih gila lagi. Saya tadi iseng-iseng menengok harga jual Adobe Photoshop CS6. Harganya mencapai 10 juta 832 ribu rupiah. Gila bener.

Repotnya adalah: Microsoft sudah terlalu mendarahdaging di Indonesia, alias memonopoli sistem operasi dan perangkat lunak.

Padahal ada tandingan sistem operasi Linux yang berbasis open source, yakni sistem yang membolehkan pemakai untuk mengunduh perangkat lunak secara legal. Juga bebas untuk mengembangkan peranti lunak sendiri, untuk kemudian disebar. Tapi seberapa banyak yang memakai Linux? Tentu jauh lebih sedikit dibandingkan pengguna Windows.

Dulu di Jember pernah ada satu warnet yang berbasis Linux. Saya beberapa kali berselancar di sana. Beberapa kali ngobrol juga dengan pemiliknya, seorang pria ramah dengan kacamata tebal.

"Sampai sekarang, orang terlalu tergantung pada Microsoft Windows, padahal ada Linux yang software-nya gratis, dan sebenarnya penggunaannya mudah. Hanya perlu dibiasakan saja," kata mas itu, yang saya lupa namanya.

Sayang, karena faktor tak biasa, warnet Linux itu pun bangkrut.

Kebiasaan tergantung pada Windows juga mengakar di kalangan birokrat sekalipun. Tahun 2011 misalkan, Kementrian Pendidikan Indonesia bekerja sama dengan Microsoft untuk "…memperkuat pengetahuan teknologi informasi, meningkatkan inovasi, dan kreativitas di dunia pendidikan di Indonesia."

Sekilas itu seperti pakta perjanjian biasa saja. Namun akibatnya apa? Seluruh sekolah di Indonesia ‘dipaksa’ menggunakan Windows asli, yang harus membayar dalam jumlah besar. Hmmm, saya mencium aroma komisi di sini. Selain masalah itu, konsekuensinya adalah para murid juga ‘dipaksa’ tergantung dengan Windows, alias menghasilkan murid dengan Windows minded.

Padahal dulu pemerintah Indonesia pernah membuat program keren: Indonesia Goes Open Source. Namun kemana program itu? Entahlah. Hehehe.

Gara-gara tak biasa menggunakan sistem open source, dan tak mampu membeli perangkat lunak asli, maka akhirnya para pengguna komputer larinya ke perangkat lunak bajakan. Indonesia, kalau saya tak salah ingat, menempati peringkat ke 7 dalam negara pengguna perangkat lunak bajakan. Tapi apa itu salah? Kalau menurut saya, tentu tidak. Asalkan kembali lagi ke percakapan di atas: pembajakan untuk pendidikan.

Sekarang gini…

Kalau anda mahasiswa, bukan anak Aburizal Bakrie atau Harry Tanoe, yang artinya masih menggantungkan hidup dari kiriman orang tua dengan jumlahnya pas-pasan, atau cuma mampu makan dua kali sehari, apa mampu membeli perangkat-perangkat lunak itu semua? Padahal Microsoft Windows, Microsoft Office, adalah dua perangkat yang harus ada di tiap komputer dan komputer jinjing mahasiswa.

Kalau tidak mampu, apa artinya para mahasiswa tidak boleh belajar dan menggarap tugas? Karena tidak mampu membeli perangkat lunak, maka banyak orang Indonesia dipaksa tetap jadi bodoh dan tak boleh belajar komputer. Mengerikan bukan?

Itulah inti dari tulisan Widi dan saya ceritakan ulang di sini.

Gerakan anti pembajakan ala Microsoft memang sedang digiatkan semenjak beberapa tahun terakhir. Microsoft bisa dibilang merupakan pihak yang memonopoli sistem operasional dan perangkat lunak di negara-negara berkembang.

Di Guatemala misalnya, pernah ada kasus yang cukup menghebohkan.

Suatu hari, pihak Microsoft bersama aparat keamanan Guatemala yang bersenjata lengkap, merazia Seguros Universales, sebuah perusahaan asuransi di Guatemala. Padahal perusahaan itu sudah menggunakan 98% perangkat lunak asli. Pihak Microsoft memaksa Seguros Universales untuk membayar 70 ribu dollar Amerika di tempat, atau pihak Microsoft menghapus semua server yang menyimpan semua data di kantor itu.

Kasus ini menjadi perhatian dunia karena ternyata Microsoft dan aparat keamanan Guatemala tidak membawa surat perintah dan surat izin razia.

Seguros Universales yang merasa diperas dan dipermalukan, akhirnya balik menuntut Microsoft dan aparat keamanan Guatemala. Perusahaan ini juga menuduh Microsoft menjalankan pemerasan macam ini di banyak negara, kebanyakan karena sembarangan menarget perusahaan. Hal ini juga terjadi di Belgia.

Suatu hari Microsoft merazia perusahaan bernama Deckers-Snoeck, dibantu dengan aparat lokal. Perusahaan itu lantas diwajibkan membayar denda sebesar 40.000 dollar Amerika, atau pihak Microsoft mengambil semua komputer perusahaan itu.

"Itu lebih merupakan perampokan ketimbang razia," kata CEO Deckers-Snoeck, Joris Decker.

Karena terancam tutup kalau tidak membayar, maka pihak perusahaan percetakan itu pun membayar. Tapi toh ujungnya tak enak: tak semua perangkat lunak yang dipasang adalah perangkat lunak asli. Nggapleki cuk!

Akhirnya perusahaan Deckers menuntut Bussiness Software Alliance selaku organisasi yang memayungi Microsoft, ke pengadilan. Deckers memenangkan gugatan dan menghilangkan kewajiban membayar sepeser pun kepada Microsoft dan BSA.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Dalam skala yang lebih lokal, terjadi di Jember, kota tempat saya menuntut ilmu.

Sekitar pertengahan tahun 2009, ada razia besar-besaran di warung internet seputaran kampus Universitas Jember. Nyaris semua, malah sepertinya semua, warnet kena razia. Alasannya? Bukan soal menyimpan film porno, atau dijadikan tempat mesum mahasiswa horny. Melainkan karena menggunakan software bajakan.

Beberapa warnet dengan dana besar, akhirnya membayar sejumlah uang --saya tak tahu berapa-- agar tetap bisa beroperasi. Mereka juga memasang stiker besar: "Warnet Ini Menggunakan Software Windows Asli". Warnet kecil yang tak sanggup membayar? Ya terpaksa gulung tikar. Dan itu jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang warnet bermodal besar.

Tapi tunggu dulu, razia yang menimpa warnet itu belum cerita keseluruhan. Saya sih dengan iseng membayangkan: bagaimana kalau operasi macam itu dilakukan pada komputer para mahasiswa?

Saya yakin, seyakin-yakinnya, nyaris semua mahasiswa --bahkan mungkin dosen juga-- di Indonesia memakai perangkat lunak bajakan. Yang mau dan mampu membeli perangkat lunak asli pasti hanya beberapa gelintir mahasiswa yang tak pernah merasakan kelaparan di akhir bulan.

Bisa membayangkan kalau Microsoft bersikeras dan ‘memaksa’ aparat di Indonesia untuk meluncurkan razia besar-besaran kepada komputer atau komputer jinjing para mahasiswa? Para mahasiswa yang tertangkap menggunakan perangkat lunak bajakan lantas diwajibkan membayar ratusan ribu, atau malah jutaan, agar bisa menggunakan program-program Microsoft. Gila kan?

Yang tak bisa membayar? Ya selamat tinggal belajar komputer. Ya selamat tinggal menggarap tugas. Ya selamat tinggal kuliah. Ya selamat datang kebodohan.

Itu kenapa saya setuju sekali pendapat Widi, bahwa pembajakan untuk pendidikan adalah halal dan dibolehkan. Apa jadinya kalau kita dilarang belajar komputer hanya gara-gara kita tak mampu beli perangkat lunak?

Jadi pilihannya cuma dua: mulai membiasakan diri memakai sistem open source, atau menggunakan perangkat lunak bajakan? Sementara ini, saya memilih opsi nomer dua. Hehehe.

Long live piracy for education!

betul sekali gan.

Tumben sepi nih thread. Padahal topiknya cukup kontroversial. :D

sama gan, saya membiasakan menggunakan linux, dan mulai nyaman sekarang :)

semoga saya nyaman dengan linux :D

Ada beberapa dari tulisan ente yang ane cuba quote dan ane coba komentar.

di tulisan sebelum ini kan ente ngebahas linux gan.

berarti masalahnya tinggal mau belajar apa enggak, mau membiasakan diri apa tidak.

apapun alasannya Robin Hood tidak bisa diterima, "mencuri untuk disumbangkan?."

"pembajakan untuk pendidikan", sama aja kayak Robin Hood, mencari pembenaran atas perbuatan yang salah.

Urusan software, linux juga punya gan. openOffice, Inkscape(corel), gimp(Image).

Walaupn ane masih menggunakan program bajakan, tapi sedikit demi sedikit ane kurangin gan dengan menggunakan linux. Bener juga gan pake linux itu ga susah ko cuma harus dibiasakan aja. Sama halnya waktu pertama kali kenal komputer, pasti semuanya masih terlihat ane jika belum terbiasa.

migrasi dari windows ke linux serasa moveon dari mantan kyk cinta aja wkwkkk … :lol: :D ;)

wah, telat ikut diskusinya, udah pada buyar belum nih orang2.

nada tulisannya agak2 microsoft is evil, it’s okay to rob them some license.

yang baca thread di sini, saya asumsikan programmer, cari uang dengan bikin program. Jadi seharusnya sudah cukup paham kalo bikin apps itu susah, terlalu banyak hitung2an dan faktor X yang bisa bikin pekerjaan yang sekilas nampaknya menguntungkan tiba2 mendadak rugi.

Perusahaan2 sekelas microsoft, adobe dan macromedia (sekarang udah dibeli adobe) berhasil memanage risiko rugi tersebut, sehingga mampu menyewa orang2 terbaik di bidang itu dan menghasilkan sebuah karya digital yang memudahkan saya, anda dan kita semua cari uang.

Ada pepatah orang asing, you need money to make money.

Kalau memang pake mac os bikin anda lebih produktif, nggak usah ngompile2 kernel biar wifi card anda kedetek, atau nggak perlu update antivirus tiap 2 minggu, why not?

Toh, ngotak-ngatik software yg gak jalan hanya karena library tidak compatible, atau terpaksa install ulang karena kena worm bisa bikin kita kehilangan waktu berjam-jam atau beberapa hari, seandainya waktu itu digunakan untuk kerja (ngoding, design, bikin proposal, translate) kan dapet duit?

Seandainya dengan produktif dalam 1 tahun anda bisa dapat 60-80jt rupiah, maka pantas mengeluarkan sedikit untuk beli mac dan software2 yang ada di dalamnya.

Masyarakat umum mungkin masih memiliki pola pikir, membajak tidak apa2, seharusnya kita yg orang IT mulai meluruskan, bahwa pembajakan adalah merampas hak orang lain. Pernah nggak ketemu klien yg kalo nawar sadis? "Mas bikin website ginian doang sampe 2jt? di sono cuma 500rb"

Panas nggak? Padahal itu kerjaan dibayar, bukan dibajak :D

Di FB PHP-ID minggu ini ada designer yang marah2 gara2 themes situsnya diambil orang gak permisi, padahal yang ngambil cuma 1 orang, bukan 1 negara :D

Jadi balik ke diri sendiri aja, kalo mau dihargai, ya hargain orang lain. Masyarakat yg salah kaprah mengira software mestinya gratisan, jangan diikutin. Kalo mereka mau yg free bisa pake Free Open Source Software, biasanya selalu ada alternatif dari software berbayar, walaupun nggak seindah/sehebat versi bayarnya.

Orang2, terutama yg non IT juga perlu mulai diberi tahu, bahwa software adalah komponen biaya: jadi kalo buka kantor kudu sewa tempat, beli kursi, beli mobil, ya software juga harus dianggarkan, komputernya aja beli.

Sama seperti mahasiswa sipil, beli rotring itu mahal, kalo lengkap bisa sampe 4jtan, belum lagi meja gambar, tapi waktu beli mindsetnya udah bisnis kan? tar ane lulus kerja, balik modal. Sama software juga gitu, malah lebih enak karena kalo kampusnya punya agreement bisa dapet gratis, kalo nggak agreement juga biasanya vendor punya paket pelajar, kayak Oracle Academy Initiative, atau Microsoft BizzSpark buat startup.

Yang lucu itu kalo bidangnya bukan IT, terus dapat kemudahan software2 bajakan, lalu terjerumus pake program bajakan terus. Misalnya mahasiswa FMIPA pake ms word, padahal tau sendiri susahnya setengah mati nulis rumus2 kalkulus dan integral lanjutan pake word, kemampuannya terbatas. Teman2 yg baru pulang dari luar negeri umumnya sampe di sini kaget liat orang nulis thesis / skripsi pake word, karena sulit, di luar standarnya pake Tex / LaTex, gratis dan power full.

klo buat belajar sih ga masalah, kan aneh juga klo beli software tapi ga paham cara makenya,

tapi klo sudah menyangkut pekerjaan, cari duit, usahakan nggak pake software bajakan, software gratis + open source banyak…

bukan apa2, ini supaya duit yang kita dapet itu halal dan lebih barokah

Rasanya argumentasi yang diberikan untuk membenarkan pembjakan dalam pendidikan terlalu dipaksakan. Open source memang salah satu solusi, namun bukan satu-satunya. Dalam hal ini masih banyak cara lain yang dapat dilakukan secara legal untuk menggunakan aplikasi namun murah.

Khusus terkait dengan produk Microsoft:

  • Kerja sama dengan Microsoft untuk mendapatkan lisensi pendidikan. Di IPB, hal ini dilakukan dan tiap mahasiswa cukup membayar Rp. 10.000 untuk mendapatkan produk legal.

  • Menggunakan produk trial. Apalagi jika memang masih coba-coba untuk menentukan ingin menggunakan apa.

Karena ini bicara dunia pendidikan, maka BELAJAR untuk menggunakan aplikasi alternatif, harusnya bisa menjadi opsi jika memang itu adalah hal yang harus terkait keilmuan tersebut. Menggunakan produk bajakan hanya karena tidak mampu membayar rasanya bukan jadi alasan. Jika produk tersebut kita ganti dengan suatu produk yang bukan aplikasi namun seperti Mikroskop, maka solusi yang ditawarkan bagi para pelajar mikrobiologi, bukanlah memaksakan dengan segala cara agar dapat menggunakan Mikroskop elektron melainkan mencari alternatif lain seperti menggunakan Mikroskop optik biasa.

Terlepas dari hal itu, memang membajak aplikasi saat ini masih belum bisa dihindari, namun memberikan pembenaran bahwa bajakan itu boleh tidak akan mendukung ekosistem pengembangan aplikasi (terutama ddi Indonesia) untuk ke depannya.

Bagi saya, pembajakan tetaplah sesuatu hal yang buruk. Khusus untuk bidang pendidikan, jika TS mau telisik lebih dalam, sudah banyak company-company produk IT yang memberikan lisensi khusus untuk pelajar / student.

Saya pribadi mulai meninggalkan produk-produk bajaka satu per satu, sebut saja Office. Ada lisensi untuk mahasiswa dgn biaya 833rb / 4 tahun. Worth kok. Kemudian IDE PHPStorm dari JetBrains yang memberikan lisensi 1 tahun penuh secara cuma-cuma dan bisa diperpanjang dengan gratis hanya dengan mendaftar lisensi academic. Ada lagi, jika mau, Microsoft menyediakan fasilitas Microsoft DreamSpark yang bisa dimanfaatkan pelajar untuk mengunduh aplikasi2 Microsoft secara cuma-cuma dengan mendaftar dengan kartu pelajar atau kartu mahasiswa. Sebut saja Windows 8.1 Embedded, SQL Server 2014, Visual Studio 2013, 2014, dll. Bahkan kalau kampus tempat Anda studi memiliki kerja sama dengan Microsoft, akses ke lebih dari software-software tertentu bisa didapat secara cuma-cuma. Modal download via wifi kampus bisa lah atau di tempat-tempat nongkrong seperti 7/-- bisa.

Oh! Buku-buku?! e-Book? Saya kira mengeluarkan uang untuk membeli buku secara online, contoh di Packtpub, buku2 tutorial bisa didapat dengan harga cukup terjangkau, apalagi tiap hari ada diskon untuk jenis buku tertentu yang bisa diraih dengan harga dibawah $10 / judul.

Oh! Adobe Photoshop, saya lebih baik install GIMP. Jika mau mencoba keberuntungan, silakan hadir ke acara-acara Adobe Indonesia yang menyertakan quiz doorprize lisensi Adobe perpetual. Gile!

Laptop / komputer saya belum terinstall OS asli, sebut saja Windows. Saya lebih baik memilih Laptop / Komputer yang sudah terinstall OS Bawaan. gak perlu beli baru, second hand asal masih bagus cukup.

Dan terakhir, bagi saya, membeli buku atau software bukan mengeluarkan kocek saja, tapi saya membeli semangat si author / software developer atas karya yang mereka hasilkan. Dan sekarang ini, untuk meraih ilmu sudah sangat banyak jalannya. Tinggal kitanya saja, mau atau tidak. Attitude yang perlu diperhatikan.

setuju gann

Pakai linux gan…